Blackout Jawa Jangan Terjadi Lagi, Sebuah Telaah Untuk Perbaikan Bersama

Kejadian Black Out Jawa (atau yang sering ditulis Setengah Pulau Jawa) di hari Minggu kemarin pada tanggal 4 Agustus 2019 merupakan kejadian extraordinary yang tidak dikehendaki oleh semua pihak. Pasalnya kerugian akibat adanya Black Out Jawa ini tidak sedikit mulai dari terganggunya lalu lintas kendaraan berbasis listrik, kegagalan transaksi perbankan, terganggunya aktivitas banyak orang di akhir pekan, penurunan kualitas jaringan telekomunikasi dan bahkan kebakaran di beberapa lokasi di Jakarta (sebagian karena genset dan lilin). Banyak tulisan populer berseliweran di sosial media sesudah terjadinya Black Out tersebut, mulai dari teori konspirasi adanya sabotase hingga teori sebuah pohon yang menyebabkan grid Jamali trip dan sebagainya. Banyak juga tulisan dan kronologi dibuat mengenai usaha PLN untuk menghidupkan jaringan tersebut yang tentunya kami dan publik apresiasi. 

Kami berpendapat bahwa telaah lebih berguna apabila dilakukan secara lebih metodologis untuk menghasilkan saran/rekomendasi yang berguna. Kami bagi telaah kami menjadi 2 bagian pokok yaitu :
1)    Penyebab teknis Black Out Jawa dan saran untuk perbaikan dan peningkatan di masa depan
2)    Leadership dan Manajemen Organisasi di PLN secara keseluruhan

Penyebab Teknis Black Out Jawa Dan Saran Untuk Perbaikan
Pada saat terjadi Black Out atau mati listrik secara bersamaan, pada umumnya masyarakat mencari tahu mengenai gangguan teknis yang mengakibatkan adanya pemadaman listrik secara bersamaan. Dalam pernyataan pers, PT PLN (Persero) menjelaskan alasan terjadinya Black Out di wilayah Jabodetabek dan sebagian wilayah Jawa Barat dan Jawa Tengah ini bermula pada pukul 11.45 detik 27 WIB terjadi gangguan pada sirkuit 1 jaringan SUTET 500kV Ungaran-Pemalang yang kemudian disusul gangguan pada sirkuit kedua. 

Pada pukul 11.48 gangguan berdampak pada penurunan tegangan di SUTET 500kV Tasikmalaya-Depok. Sistem proteksi yang ada segera mematikan PLTU Suralaya, PLTU Labuan, PLTU Lontar, PLTU Pelabuhan Ratu, PLTGU Tanjung Priok, PLTGU Muara Karang, PLTGU Muara Tawar, PLTA Cirata, Saguling, dan Jatiluhur yang mengakibatkan daerah DKI Jakarta, Banten, dan sebagian Jawa Barat padam. 

Dalam penjelasan dan penyataan resminya, PT PLN (Persero) juga menjelaskan bahwa proses recovery yang dilakukan PLN menjadi agak lambat karena kurang memadainya pembangkit cold start khususnya pada pembangkit berkapasitas besar. Selain itu beberapa PLTU Cold start butuh waktu lebih dari 12 jam seperti PLTU Suralaya, PLTU Labuan, PLTU Lontar, dan PLTU Pelabuhan Ratu sehingga ada beberapa wilayah yang mengalami pemadaman lebih dari 12 jam.

Dalam teori teknik kita ketahui bahwa ketika interkoneksi terputus maka backup sebaiknya berasal dari island operation (menjadi pulau-pulau terpisah) di mana pembangkit tetap berfungsi mensuplai daerah terdekat sekitarnya. Di kejadian ahad kemarin ketika interkoneksi grid rontok, jalur selatan yang harusnya membackup sedang mengalami pemeliharaan dan islanding yang berhasil hanya beberapa, padahal semakin banyak islanding yang sukses maka dispatcher akan semakin mudah/cepat merangkai kembali interkoneksi grid.

Analogi kejadian secara lebih awam/sederhana dapat diringkas sebagai berikut :
1)    Ada 2 wilayah yaitu Provinsi Timur dan Provinsi Barat
2)  Masing-masing wilayah sudah mempunyai pembangkit ,dan jaringan listrik Provinsi Timur dan Barat disatukan 
3)    Pembangkit yang di wilayah Timur lebih besar dan yang di wilayah Barat lebih kecil
4)  Namun beban terbalik. Beban di barat lebih besar dibandingkan di timur sehingga power flow terjadi sebaliknya dari timur ke barat
5)    Ketika saklar dan kabel penghubung timur dan barat terputus apa yang terjadi ? Pembangkit di wilayah Barat tidak dapat menanggung semua beban di Barat
6)   Yang dilakukan berikutnya apakah semua pembangkit di Barat dimatikan ? Sehingga semua Provinsi Barat listriknya padam ?
7)   Yang dapat dilakukan harusnya adalah terjadinya islanding sehingga terjadi lokalisasi masalah mati listrik di Provinsi Barat hanya di beberapa lokasi saja, tidak mati total
8)   Yang menjadi isu berikutnya adalah pembangkit cold start seperti PLTU Batubara memerlukan waktu lama untuk menyala kembali.

Kemungkinan Penyebab dan Saran Perbaikan
Penyebab pasti kejadian blackout sedang ditelusuri oleh PLN dan investigator dari Kementerian ESDM. Tentunya investigasi ini akan sangat berguna dan perlu waktu untuk menyelesaikannya dengan baik. Tulisan kami sendiri lebih berfokus pada kemungkinan penyebab dari sisi keilmuan dan praktik yang kami pahami tanpa mendahului/judge anything karena investigasi sedang berjalan.

Ulasan pohon sengon sendiri sudah ditulis oleh Pak Dahlan Iskan dan kami tidak bermaksud mengulangnya di sini. Pohon sengon Ungaran nan monumental yang dimaksud mungkin saja dapat menganggu dan menyebabkan short circuit, sesuatu yang wajar di sistem ketenagalistrikan. Tapi menjadi tidak wajar ketika proteksi gridnya tidak berjalan dengan baik sehingga menyebabkan efek lanjutan berikutnya yang semakin besar (sequential events)

Beberapa tulisan lain yang menjelaskan bahwa blackout itu sudah suatu keniscayaan karena nyatanya terjadi di negara lain juga dan bahkan bisa lebih lama/dahsyat. Kalau mau dianalisis lebih panjang lagi tentunya blackout dapat dibagi lagi menjadi karena fenomena alam (misal : Badai besar,Banjir besar) dan blackout yang terjadi bukan karena fenomena alam. Blackout Jawa sendiri masuk kategori bukan karena fenomena alam. Kami percaya bahwa esensi dari suatu kejadian extraordinary seperti Blackout Jawa 2019 seperti ini adalah bagaimana semua stakeholder bisa belajar darinya dan melakukan improvement yang diperlukan sesegera mungkin.

Beberapa alasan kenapa sistem fragile/rontok pada saat Jawa terbelah dua : Jawa Bagian Barat dan Jawa Bagian Timur terpisah (tepat di titik Ungaran – Pemalang)  dan tidak bisa seketika self-stabilized/islanded :
1) Jika sistem Jawa Bagian Barat tidak kuat menyokong (misal karena memang kekurangan daya yang diproduksi),maka kelemahan memang sudah dari awal/dari desain sehingga mungkin dapat terjadi lagi di masa depan
2) Jika sistem Jawa Bagian Barat kuat menyokong tetapi tetap rontok/trip untuk melindungi generator maka salah satu kemungkinan adalah sistem yang dibangun belum robust (tangguh).

Sistem grid Jamali sendiri terdiri kabarnya terdiri dari lebih dari 200 unit pembangkit dan lebih dari 500 gardu induk, tanpa penetrasi renewable energy yang signifikan,tanpa pembangkit nuklir dan sebagainya. Dari sisi size dan kompleksitasnya sendiri sebenarnya “cukup” kecil dan lebih manageable dibandingkan sistem US yang mempunyai kapasitas 1072 Gigawatt yang mana 80% nya disediakan oleh perusahaan swasta, lebih dari 3000 pembangkit dengan banyak jenis seperti batubara, gas alam, nuklir, sampai dengan energi terbarukan. Negara besar dengan grid luas dan jumlah pembangkit sama banyaknya di Asia antara lain adalah China, dan kita hampir tidak pernah mendengar adanya blackout dalam durasi panjang kecuali mother nature.

Untuk sistem Jamali dengan model memanjang dengan kapasitas transmisi yang terbatas dan distribusi pembangkit yang tidak merata, perlu suatu skenario defence system yang handal, berapapun konsekuensi  biaya operasinya perlu ditanggung daripada harus menanggung kerugian ekonomi dari blackout. Cost vs benefit analysis dari pentingnya skenario defence dan control system yang handal adalah no-brainer.

Kerugian di Blackout Jawa 4 Agustus – 5 Agustus 2019 :
Kerugian berupa kompensasi langsung PLN ke 21.3 juta pelanggan = ~ 1 Trilyun Rupiah
Kerugian pelanggan dan banyak pihak lainnya (21.3 juta pelanggan atau 100 juta penduduk) = > 1 Trilyun Rupiah (masih dihitung dan nampaknya akan sangat susah dihitung secara presisi karena besarnya jumlah yang terdampak). Kalau kita mengasumsikan bahwa setiap pelanggan yang terdampak mengalami kerugian langsung dan tidak langsung sebesar Rp 100,000 saja per pelanggan (angka hipotesis yang relatif kecil karena “untungnya” kejadian di akhir pekan dan bukan hari kerja) maka angka kerugian dapat ditotalkan secara hipotesis menjadi = 2 Trilyun Rupiah.

Total perkiraan kerugian = 3 Trilyun Rupiah
Biaya investasi untuk sistem kendali dan defence system yang handal untuk Jamali dapat dilakukan di bawah 3 trilyun, bahkan bila diperlukan angka yang lebih tinggi mandatory tetap harus dikeluarkan demi reliabilitas listrik yang lebih baik untuk 150 juta penduduk di Jamali.

Dari paparan di atas maka hanya ada 1 pilihan yang dapat dilakukan berikutnya (di luar “business as usual”) yaitu perbaikan fundamental dalam desain, konstruksi, O&M dan peningkatan skema pertahanan grid Jamali (misalnya : advanced control system yang berbasis Big Data dan Artificial Intelligence). 

Contoh perbaikan : Prosedur O&M sendiri dapat memakai drone dan sensor monitoring dengan jadwal berkala untuk jalur kritis di SUTT dan SUTET perlu dilaksanakan sebagai PROTAP sehingga pohon sengon yang tumbuh tinggi dapat diketahui tepat waktu dan dapat ditebang tepat waktu juga.

Leadership dan Manajemen Organisasi PLN Secara Keseluruhan
Pasca ditahannya Bapak Sofyan Basir,Mantan Dirut PLN oleh KPK maka praktis sudah ada 3 Pelaksana Tugas Dirut yang ditugaskan mulai dari Direktur Human Capital (Muhammad Ali), Direktur Pengadaan Strategis 2 (Djoko Rahardjo Abumanan)  dan juga Mantan Direktur Indonesia Power (Ibu Sripeni Intan Cahyani).

Dari struktur holding sendiri kita lihat ada kegamangan yang terjadi karena beberapa Pelaksana Tugas menggantikan Dirut PLN secara bergantian. Kita tahu bahwa Pelaksana Tugas biasanya tidak boleh mengambil keputusan strategis dan cenderung menjaga kondisi psikologis yang aman/status quo saja.

Salah satu pertanyaan Pak Jokowi ketika berkunjung ke PLN di Senin pagi,5 Agustus 2019 adalah kenapa seperti tidak ada rencana cadangan (contingency plan in place) ketika black out terjadi. Publik sendiri mendapatkan banyak versi pers release tentang jam berapa listrik akan kembali menyala di tempatnya (dan berakhir kekecewaan di publik karena janji jam tersebut tidak akurat). 

Contingency plan berkaitan erat dengan risk management dan crisis management. Dalam kejadian blackout kemarin kita lihat bahwa manajemen PLN bekerja keras dan membagi keberadaan para direksi ke beberapa lokasi pengaturan transmisi dan distribusi (Gandul dan sebagainya), suatu pertanda baik dari crisis management.  Yang kurang sepertinya adalah contingency plan yang berbasis advanced control system yang handal.

Dalam era transisi ke Pemerintahan Pak Jokowi periode kedua yang akan dimulai Oktober 2019 nanti maka kami melihat ini kejadian Blackout ini sebagai momentum untuk perubahan di PLN meliputi :
1)    Penempatan Direksi yang jujur, kompeten dan berani dalam melakukan perbaikan
2)    Perbaikan pola kerja,kecepatan bekerja dan sense of urgency
Dalam era modern seperti ini, Agile Process perlu diterapkan sehingga kejadian atau masalah kecil di regional masing-masing dapat diolah dan diselesaikan lebih cepat tanpa harus terus meminta petunjuk dari HQ.  Sense of urgency sendiri perlu menjadi working culture semua insan di dalam PLN.
3)    Mempertimbangkan reorganisasi PLN.
Di banyak negara, kompetisi dimunculkan untuk memacu perbaikan pelayanan karena sesungguhnya sangat sulit untuk bergerak lincah ketika monopoli masih dirasakan.  Di banyak negara juga bisnis diunbundling menjadi perusahaan pembangkitan dan perusahaan transmisi distribusi,contohnya di Italia, Tiongkok dan banyak contoh lainnya,sehingga semua dapat transparan dan efisien di mata publik.

Demikian telaah singkat kami untuk menjadi bahan diskusi dan juga sumbang pikiran kami untuk Bangsa dan Negara Indonesia menjelang Hari Kemerdekaan yang ke 74.
Terimakasih.

Tim Penulis :
1)    Herman Huang MSc. MBA.
Praktisi dan pemerhati energi
2)    Giri Cahyo Hartono, SE
Analis Energi dari CGE
Kontak : giri@cge.co.id, website : www.cge.co.id